Jumat, 16 Mei 2014

Detik Merah Menjadi Rezeki Bagi Keluargaku



Saat mentari pagi baru mulai menampakan sinarnya sedikit demi sedikit, dimana sebagian orang masih ada yang terlelap, sriwiji pun telah sibuk untuk memulai aktivitas kesehariannya. Mulai dari membersihkan rumah, menyiapkan makan untuk si kecil maulana yang masih sangat bergantung dengan dirinya. Ia pun juga harus mempersiapkan sarapan untuk nanda yang baru duduk di kelas 2 SMP dan juga yuda anak sulung nya yang sudah tidak lagi bersekolah. Yuda berhenti sekolah sejak kelas 1 SMP, hal ini dikarenakan ia selalu terlambat pergi sekolah karena harus menunggu angkutan umum dan ini yang selalu dipermasalahkan pihak sekolah.


Setelah menyelesaikan semua tugas dirumah, ia harus bergegeas menyiapakn make up dan kostum menarinya. Ya sriwiji yang lahir 34 tahun silam  ia adalah seorang penari, tetapi jangan banyangkan ia akan menari dengan kostum yang indah , make up yang berseri dan juga akan di tonton oleh orang yang akan memperhatikan nya dengan kagum. sriwiji adalah seorang penari jalanan, ia biasa menari di perempatan lampu merah kaliurang, kentungan.
Dibutuhkan waktu sekitar setengah jam dengan menggunkan Trans Jogja untuk mencapai tempatnya biasa bekerja dari rumah nya yang berada derah badran,utara jogja. Ketika waktu akan menujukkan pukul 8 pagi ia sudah harus berada disana dan bersiap untuk berganti kostum menari nya. Ia biasa menumpang di cucian motor yang terletak dibelakang halte trans jogja untuk berganti pakaian dan make up.
 Setelah semua selesai ia akan mulai “menjajakan” tarian nya ketika lampu lalu lintas menunjukan warna merah. saat 20 detik lampu menuju hijau ia telah berhenti menari dan mulai menyodorkan kaleng bekas yang dijadikan tempat untuk menampung uang yang diberikan oleh pengguna jalan. Hal ini lah yang terus dilakulkan nya seharian. Terkadang ketika terasa lelah karena sengatan matahari yang sangat panas menembus kulit ia juga “meminta” uang tanpa menari. Saat matahari tepat diatas kepala, ini menandakan ia harus berhenti sejenak untuk istirahat makan siang. Nasi kucing di angkringan sudah cukup untuk mengganjal perut yang lapar dan menambah tenaga untuk kembali menari hingga sore hari.
Pengahasilan sebagai penari jalanan tidak lah menentu, tetapi sriwiji membatasi dirinya harus membawa uang 150.000 dalam satu hari. Uang ini biasa ia pergunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Biasanya ia akan mendapat lebih jika hari libur, penghasilan nya bisa mencapai 200.000/hari. Uang yang ia dapat ini harus dibagi-bagi.


Setiap hari ia harus membayar uang sejumlah 60.000 untuk hutangnya kepada juragan yang ada di desa tempat tinggal nya. Sisa nya ia harus pintar – pintar membagi demi kebutuhan sehari – hari dan juga biaya sekolah untuk nanda. Ia juga tengah mempersiapkan yuda anak sulungnya untuk mengejar ketertinggaln sekolah nya dengan mengikuti paket C, dan langsung melanjutkan ke SMA. Selain membiaya 3 anak nya, ia juga tinggal bersama ibu nya dan hanya sriwiji lah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Ketika dalam percakapan, saya menanyakan keberadaan suaminya, karena dari awal perbincangan tidak terdengar sosok bapak yang dapat diceritakan sebagai pemimpin keluarga. Dengan wajah yang sedikit gugup dan memerah ia menjawab “bapak nya anak-anak udah gak ada, udah kabur”. Tersentak mendengar jawabannya, ia menceritakan bahwa sang suami sudah meninggalkan nya sejak 3 tahun yang lalu. Bukan bercerai, tapi sang suami hanya “menggantungkan” hubungan nya.
Terlihat mata yang sedikit berkaca – kaca ketika harus menceritakan sang suami. Sang suami meninggalkan sesaat setelah ia melahirkan anak ke 3,maulana. Ia menuturkan bahwa suami nya itu bukan lah orang yang dapat menjadi panutan bagi anak – anak dan dapat bertanggung jawab terhadap keluarga. Sebelum ditinggal sang suami sebenarnya sriwiji sudah bekerja di jalanan selama 10th sebagai “gendong anak” (mengemis). Ini dijalankan karena tidak cukupnya nafkah yang diberikan dan juga kebiasaan suaminya yang suka mabuk – mabukan. Kekerasan secara psikis dengan berkata – kata kasar yang dilontarkan kepada anak-anak juga menjadi factor utama yang menjadikan nya yakin untuk tetap tegar walau harus sendiri menghidupi 3 anak dan ibunya sendiri.

Pekerjaan sebagai penari ini dijalani nya karena di ajak oleh temannya. Sriwiji sudah 2 tahun menjadi penari jalanan. Sudah cukup banyak suka dan duka yang ia hadapi bekerja di jalanan. Mulai dari harus menahan panas nya matahari yang sangat terik, hujan, dan penertiban yang dilakukan oleh Sat Pol PP. ia mencerikan sudah beberapa kali ia ditangkap / ditertibkan Sat Pol PP. Setelah di tangkap biasanya ia akan di masukan ke panti social. Disini ia menceritakan bahwa apa yang biasanya disiarkan ditelevisi mengenai bagaimana pihak panti social memberikan penyuluhan atau pelatihan itu tidak lah terjadi kepada nya. Ia bercerita selama pengalaman ditangkap Sat Pol PP, di panti itu hanya di diamkan saja sampai pihak RT menjemputnya. Jika tidak dijemput maka ia akan di tahan selama 1 bulan.
Ketika kita sering melihat penari jalanan diiringi dengan alunan gamelan sederhana, hal ini tidak terjadi pada sriwiji. Ia menari tanpa musik. Kerika ditelisik hal ini karena ia takut ketika ada penertiban maka akan sulit untuk menghindar dan jika tertangkap maka barang tidak akan dikembalikan.
 Ia juga memberikan sedikit informasi bahwa biasanya, mereka yang menggunkan alat music sudah memiliki “orang dalam” Sat Pol PP, jadi ketika akan diadakan razia maka akan di hunbungi sebelumnya untuk menghindar. Hal ini tentu tidak gratis, sriwiji mengatakan mereka yang menggunakan jasa tersebut harus membayar sejumlah uang sekitar Rp. 600.000 untuk oknum tersebut.
Dengan semua pahit manis bekerja dijalan, ada sedikit keinginan nya untuk bekerja yang lain, yaitu dapat memiliki warung kecil – kecilan di rumah nya. Tetapi tampak nya harapan ini sangat kecil sekali, karena sriwiji sulit untuk melepaskan pekerjaan nya sebagai penari jalanan yang dianggap nya sudah nyaman dan uang yang di dapat itu sudah pasti. Selain itu ia juga pesimis tentang impian nya memiliki warung, kondisi rumah yang sangat tidak memungkinkan.

Saat ini ia sangat berharap kepada anak – anak nya, yaitu yuda,nanda, dan maulana. Ia berharap kelak anak – anak nya dapat bersekolah hingga tinggi sehingga dapat mengubah hidup. Ia tidak ingin nasib anak – anak nya akan sama dengan dirinya. Ia akan berusaha keras untuk mencari uang agar dapat menyekolahkan ke 3 anak nya setinggi mungkin. “nek iso, ojo koyok wong tuo ne,nek iso luweh dhuhur ngalahi wong tuo ne. ben ojo rekoso koyo wong tuo ne” (kalau bisa jangan seperti orang tua nya, kalau bisa ngalahi orang tua nya, biar gak sengsara seperti orang tua nya).

 (Restu Amalya)