Saat
mentari pagi baru mulai menampakan sinarnya sedikit demi sedikit, dimana
sebagian orang masih ada yang terlelap, sriwiji pun telah sibuk untuk memulai
aktivitas kesehariannya. Mulai dari membersihkan rumah, menyiapkan makan untuk
si kecil maulana yang masih sangat bergantung dengan dirinya. Ia pun juga harus
mempersiapkan sarapan untuk nanda yang baru duduk di kelas 2 SMP dan juga yuda
anak sulung nya yang sudah tidak lagi bersekolah. Yuda berhenti sekolah sejak
kelas 1 SMP, hal ini dikarenakan ia selalu terlambat pergi sekolah karena harus
menunggu angkutan umum dan ini yang selalu dipermasalahkan pihak sekolah.
Setelah
menyelesaikan semua tugas dirumah, ia harus bergegeas menyiapakn make up dan
kostum menarinya. Ya sriwiji yang lahir 34 tahun silam ia adalah seorang penari, tetapi jangan
banyangkan ia akan menari dengan kostum yang indah , make up yang berseri dan
juga akan di tonton oleh orang yang akan memperhatikan nya dengan kagum.
sriwiji adalah seorang penari jalanan, ia biasa menari di perempatan lampu
merah kaliurang, kentungan.
Dibutuhkan waktu sekitar setengah jam dengan menggunkan
Trans Jogja untuk mencapai tempatnya biasa bekerja dari rumah nya yang berada
derah badran,utara jogja. Ketika waktu akan menujukkan
pukul 8 pagi ia sudah harus berada disana dan bersiap untuk berganti kostum
menari nya. Ia biasa menumpang di cucian motor yang terletak dibelakang halte trans
jogja untuk berganti pakaian dan make up.
Setelah semua selesai ia akan mulai
“menjajakan” tarian nya ketika lampu lalu lintas menunjukan warna merah. saat
20 detik lampu menuju hijau ia telah berhenti menari dan mulai menyodorkan
kaleng bekas yang dijadikan tempat untuk menampung uang yang diberikan oleh
pengguna jalan. Hal ini lah yang terus dilakulkan nya seharian. Terkadang
ketika terasa lelah karena sengatan matahari yang sangat panas menembus kulit
ia juga “meminta” uang tanpa menari. Saat matahari tepat diatas kepala, ini
menandakan ia harus berhenti sejenak untuk istirahat makan siang. Nasi kucing
di angkringan sudah cukup untuk mengganjal perut yang lapar dan menambah tenaga
untuk kembali menari hingga sore hari.
Pengahasilan
sebagai penari jalanan tidak lah menentu, tetapi sriwiji membatasi dirinya
harus membawa uang 150.000 dalam satu hari. Uang ini biasa ia pergunakan untuk
memenuhi kebutuhan sehari – hari. Biasanya ia akan mendapat lebih jika hari
libur, penghasilan nya bisa mencapai 200.000/hari. Uang yang ia dapat ini harus
dibagi-bagi.
Setiap
hari ia harus membayar uang sejumlah 60.000 untuk hutangnya kepada juragan yang
ada di desa tempat tinggal nya. Sisa nya ia harus pintar – pintar membagi demi
kebutuhan sehari – hari dan juga biaya sekolah untuk nanda. Ia juga tengah
mempersiapkan yuda anak sulungnya untuk mengejar ketertinggaln sekolah nya
dengan mengikuti paket C, dan langsung melanjutkan ke SMA. Selain membiaya 3
anak nya, ia juga tinggal bersama ibu nya dan hanya sriwiji lah yang menjadi
tulang punggung keluarga.
Ketika dalam percakapan, saya menanyakan keberadaan
suaminya, karena dari awal perbincangan tidak terdengar sosok bapak yang dapat
diceritakan sebagai pemimpin keluarga. Dengan wajah yang
sedikit gugup dan memerah ia menjawab “bapak
nya anak-anak udah gak ada, udah kabur”. Tersentak mendengar jawabannya, ia
menceritakan bahwa sang suami sudah meninggalkan nya sejak 3 tahun yang lalu.
Bukan bercerai, tapi sang suami hanya “menggantungkan” hubungan nya.
Terlihat
mata yang sedikit berkaca – kaca ketika harus menceritakan sang suami. Sang
suami meninggalkan sesaat setelah ia melahirkan anak ke 3,maulana. Ia
menuturkan bahwa suami nya itu bukan lah orang yang dapat menjadi panutan bagi
anak – anak dan dapat bertanggung jawab terhadap keluarga. Sebelum ditinggal
sang suami sebenarnya sriwiji sudah bekerja di jalanan selama 10th
sebagai “gendong anak” (mengemis). Ini dijalankan karena tidak cukupnya nafkah
yang diberikan dan juga kebiasaan suaminya yang suka mabuk – mabukan. Kekerasan
secara psikis dengan berkata – kata kasar yang dilontarkan kepada anak-anak
juga menjadi factor utama yang menjadikan nya yakin untuk tetap tegar walau
harus sendiri menghidupi 3 anak dan ibunya sendiri.
Pekerjaan
sebagai penari ini dijalani nya karena di ajak oleh temannya. Sriwiji sudah 2
tahun menjadi penari jalanan. Sudah cukup banyak suka dan duka yang ia hadapi
bekerja di jalanan. Mulai dari harus menahan panas nya matahari yang sangat
terik, hujan, dan penertiban yang dilakukan oleh Sat Pol PP. ia mencerikan
sudah beberapa kali ia ditangkap / ditertibkan Sat Pol PP. Setelah di tangkap
biasanya ia akan di masukan ke panti social. Disini ia menceritakan bahwa apa
yang biasanya disiarkan ditelevisi mengenai bagaimana pihak panti social memberikan
penyuluhan atau pelatihan itu tidak lah terjadi kepada nya. Ia bercerita selama
pengalaman ditangkap Sat Pol PP, di panti itu hanya di diamkan saja sampai
pihak RT menjemputnya. Jika tidak dijemput maka ia akan di tahan selama 1
bulan.
Ketika
kita sering melihat penari jalanan diiringi dengan alunan gamelan sederhana,
hal ini tidak terjadi pada sriwiji. Ia menari tanpa musik. Kerika ditelisik hal
ini karena ia takut ketika ada penertiban maka akan sulit untuk menghindar dan
jika tertangkap maka barang tidak akan dikembalikan.
Ia juga memberikan sedikit informasi bahwa
biasanya, mereka yang menggunkan alat music sudah memiliki “orang dalam” Sat
Pol PP, jadi ketika akan diadakan razia maka akan di hunbungi sebelumnya untuk
menghindar. Hal ini tentu tidak gratis, sriwiji mengatakan mereka yang
menggunakan jasa tersebut harus membayar sejumlah uang sekitar Rp. 600.000
untuk oknum tersebut.
Dengan
semua pahit manis bekerja dijalan, ada sedikit keinginan nya untuk bekerja yang
lain, yaitu dapat memiliki warung kecil – kecilan di rumah nya. Tetapi tampak
nya harapan ini sangat kecil sekali, karena sriwiji sulit untuk melepaskan
pekerjaan nya sebagai penari jalanan yang dianggap nya sudah nyaman dan uang
yang di dapat itu sudah pasti. Selain itu ia juga pesimis tentang impian nya
memiliki warung, kondisi rumah yang sangat tidak memungkinkan.
Saat
ini ia sangat berharap kepada anak – anak nya, yaitu yuda,nanda, dan maulana.
Ia berharap kelak anak – anak nya dapat bersekolah hingga tinggi sehingga dapat
mengubah hidup. Ia tidak ingin nasib anak – anak nya akan sama dengan dirinya.
Ia akan berusaha keras untuk mencari uang agar dapat menyekolahkan ke 3 anak
nya setinggi mungkin. “nek iso, ojo koyok
wong tuo ne,nek iso luweh dhuhur ngalahi wong tuo ne. ben ojo rekoso koyo wong
tuo ne” (kalau bisa jangan seperti orang tua nya, kalau bisa ngalahi orang tua
nya, biar gak sengsara seperti orang tua nya).
(Restu Amalya)